Tag Archives: Agama

Spiritualitas Menuntun Kita

Rumah adalah tempat berandai-andai. Di setiap ruang di dalamnya, kita belajar mencatat dan mempelajari nilai-nilai kebaikan dan harapan. Orang tua dan saudara-saudara kita mengajarkan itu dengan telaten. Kita diajarkan untuk tidak usil atau menyakiti adik dan kakak karena bisa membuatnya sedih dan Tuhan tidak mengajarkan itu. Kita diajarkan untuk berbagi agar bisa menyenangkan orang lain dan Tuhan pun menyenanginya. Maka itu, seorang anak yang sedang diberi nasihat langsung menatap ke langit-langit untuk mencari Tuhannya. Begitulah, kita diajarkan menghidupi hati karena hati yang menyerap nilai-nilai, kemudian meresapinya dan memberi arti. Spiritualitas sudah hidup dalam diri kita sejak kecil.

Sementara itu, di luar rumah, kita belajar untuk memelihara spirit tersebut dan melebur dalam berbagai komunitas yang kita temui. Sewaktu kecil, di lapangan olahraga, saya dan teman-teman suka menyoraki seseorang yang bermain kasar atau bermain curang. Itu berarti kami mempunyai kesepahaman tentang nilai-nilai kehidupan, pun pada waktu lain. Saat “berangkulan”, kita bisa merasakan nikmatnya hati seperti ketika bersembahyang. Saat melakukan kebaikan, kita bisa mengerti bahwa itu merupakan bentuk paling konkret dari spiritualitas yang dimiliki.

Menurut saya, tentu ada korelasi antara spiritualitas dan sikap keberagamaan seseorang. Agama mengajarkan bertauhid dan mempelajari semua perkara manusia untuk melebur dengan penciptanya. Akan tetapi, bila eksklusivitas suatu agama malah menjadi pengganda besar bagi umat manusia, spiritualitas harusnya tampil menjadi pembela dan menduduki tahta tertinggi dalam peradaban manusia.

Suatu waktu, seseorang pernah menanyakan sisi spiritualitas Efek Rumah Kaca. Menurutnya, hanya “Debu-debu Berterbangan” yang bisa dikategorikan ke dalamnya karena mengutip langsung dari kitab suci. Kami (Cholil, Akbar, dan saya sendiri) berpendapat bahwa lagu-lagu Efek Rumah Kaca mengandung pesan-pesan spiritual. “Di Udara”, “Mosi Tidak Percaya”, dan “Jalang” adalah ekspresi perlawanan terhadap kezaliman dan pemaksaan kekuasaan. “Cinta Melulu” dan “Kenakalan Remaja di Era Informatika” mengajak orang untuk lepas dari kebodohan dan pembodohan. Bahkan, “Bukan Lawan Jenis” merupakan bentuk pengakuan terhadap hak hidup orang lain. Kalau agama lahir untuk mensejahterahkan umat, apa yang lebih baik dari melakukan hal itu dalam bentuk apa pun?

Bagi seorang teman yang pernah menonton konser musik The Flamming Lips, hal itu merupakan suatu pengalaman spiritual. Ia bisa merasakan kekhusyukan dalam keindahan tata artistik konser itu. Bagi orang-orang Kristen dan Yahudi sekuler liberal yang menyakini ketidakterlibatan teroris Islam dalam tragedi WTC (11/09) dan ikut menandatangani petisi agar dilakukan kembali investigasi kasus itu dalam gerakan “truther”, hal itu adalah ungkapan spiritual yang paling luhur karena selalu mencari kebenaran tanpa membedakan kepentingan suatu agama atau keyakinan tertentu. Bila ada seseorang yang memilih menjadi atheis karena menyadari bahwa perang antarumat-beragama memakan banyak korban manusia, rasa cintanya terhadap sesama manusia itu merupakan suatu pernyataan spiritual. Bila kami sebagai umat beragama mengajak orang untuk terus mengutuk berbagai konflik yang berdalih kesejahteraan umat, itu adalah pernyataan spontan dari spiritualitas yang kami miliki.

Akhir-akhir ini, Indonesia makin deras dilanda berbagai konflik yang disertai pertikaian dan penghancuran massal, tak terkecuali yang dipicu oleh isu agama. Isu pengkafiran yang seakan melegitimasi penyerangan terhadap warga syiah di Sampang dan warga Ahmadiyah di berbagai tempat seakan menjadi penanda kegagalan banyak umat beragama untuk memahami bahwa menghormati dan menyayangi sesama manusia adalah pencapaian tertinggi dalam memahami sang pencipta.

Saya sangat ingin mengatakan bahwa saya muak dengan berbagai konflik massal yang terjadi di Indonesia.

(Adrian Yunan Faisal dan Amalia Puri Handayani)

Eco Theologi

Agama merupakan dimensi kehidupan yang selama ini terlupakan dalam menyelesaikan problem lingkungan hidup.

Hal ini menjadi sangat lumrah dan dimaklumi. Karena pemahaman masyarakat umumnya sendiri tentang agama masih berkutat pada masalah ritualistik saja. Bagi beberapa kalangan menyebut istilah agama selalu diartikan sebagai penunjuk terhadap seperangkat ritual agama baik itu ibadah maupun perayaan hari-hari suci. Banyak masyarakat pemeluk agama, juga para pengkritik agama, melupakan bahwa agama merupakan Continue reading

Agnostikkah Diri Ini?

Keyakinan adalah gaya hidup. Dahulu kala, memeluk agama Kristen atau Islam adalah sebuah tindakan sosial yang rasional. Karena menjadi Kristen atau Islam selalu terkait dengan struktur sosial [siapa kaya, siapa berkuasa] pada suatu masyarakat/zaman tertentu. Kita tahu kedua agama tersebut pernah jaya pada suatu masa di bumi ini. Kristen dan Islam “menggoda” karena ada kuasa politik dan ekonomi di balik ajaran kasih dan keselamatan yang mereka tawarkan.

Lalu, apa atau siapa agnostik itu?

Agnostik, atheis, dan berbagai macam pandangan ketuhanan lainnya adalah “objek” yang terus diperangi oleh manusia modern pada saat ini. Tidak terkecuali para pemuka agama sendiri. Status mereka boleh kita sebut sebagai Kyai, Ustadz, Pendeta, Biksu, dan lain sebagainya, namun mereka juga manusia mengalami krisis ketuhanan yang tak terelakkan walaupun mereka merupakan abdi dari agama yang mereka anut.

Mengenai Agnostik sendiri, Wikipedia menulis, Agnostisisme adalah suatu pandangan filosofis bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu klaim tertentu —umumnya yang berkaitan dengan theologi, metafisika, keberadaan Tuhan, dewa, dsb– adalah tidak dapat diketahui dengan akal pikiran manusia yang terbatas. Seorang agnostik mengatakan bahwa adalah tidak mungkin untuk dapat mengetahui secara definitif pengetahuan tentang “Yang-Absolut”; atau , dapat dikatakan juga, bahwa walaupun perasaan secara subjektif dimungkinkan, namun secara objektif pada dasarnya mereka tidak memiliki informasi yang dapat diverifikasi. Dalam kedua hal ini maka agnostisisme mengandung unsur skeptisisme.

Pengertian lainnya yaitu:

Agnostik adalah paham tentang bahwa di dunia ini memang benar ada suatu kekuatan besar lainnya selain kekuatan manusia. Kekuatan yang transparan, tidak tampak secara fisik, mengatur jalannya alam semesta ini dan tidak dapat dijelaskan dengan akal budi atau logika.

Banyak paham lain tentang agnostik, ada yang berkata bahwa agnostik adalah paham yang mempercayai adanya Kekuatan Besar dan Kekuatan itu adalah seperti ahli pembuat jam yang telah membuat jam begitu sempurna dan presisi serta tidak dapat rusak sehingga Ia berhenti berkreasi saat jam itu selesai dibuat dan mulai bergerak. Paham lain berkata bahwa agnostik adalah paham yang mencari, walau ia percaya akan Kekuatan Besar itu tetapi ia masih mencari apa wujud Kekuatan Besar itu.

Dari kedua pengertian diatas rasanya juga jelas apa yang dimaksud dengan agnostik itu sendiri, dan pertanyaan lainnya adalah, apa kaitan agnostik dengan atheis? Wikipedia menulis:

Agnostisisme tidak sama dengan atheisme. Agnostisisme artinya tidak mengetahui apakah Tuhan ada atau tidak. Sementara atheisme tidak mempercayai keberadaan Tuhan.

Jadi untuk kata pengantar rasanya sudah lengkap. Agnostik atau katakanlah manusia agnostik sudah merajalela dari tahun ke tahun.

Ada yang ingin saya tanyakan kepada semua orang di Indonesia ini:

  1. Kalau pun Anda seorang muslim, katolik, budhis dan lain sebagainya apakah Anda akan memahami atau akan menjadi seorang agnostik?
  2. Apa yang akan Anda lakukan ketika bertemu dan bergaul dengan seorang yang agnostik dan atheis?
  3. Kenapa Anda mengatakan diri Anda beragama? Apakah karena Anda memang menganut agama dan mempercayai Tuhan? Lalu Tuhan itu seperti apa menurut Anda?
  4. Apakah Anda yakin dengan agama yang Anda anut?
  5. Kenapa Anda menganggap diri Anda justru lebih baik dari orang lain?
  6. Kenapa Anda lebih suka menggosip dan apakah Anda tahu perbuatan tersebut dilarang dalam agama yang Anda anut?

Jawab dan renungkanlah sendiri pertanyaan-pertanyaan saya di atas? Apakah benar Anda seseorang yang beragama, atau ternyata Anda adalah Agnostik?