Daily Archives: April 24, 2009

Ajaran Pendidikan Samin Surosentiko (2)

Pendidikan tentang Rasa Kebersamaan, Persaudaraan, dan Persamaan

Rasa kebersamaan merupakan ajaran terpokok yang dikembangkan oleh Samin Surosentiko. Kaidah yang digunakan adalah sami-sami yang berarti sebagai sesama manusia harus bertindak “sama-sama”, sama-sama bertindak jujur, sama-sama adil, sama-sama saling menolong, demi terciptanya masyarakat yang homogen dan guyub. (Titi Mumfangati, dkk, 2004). Ia menggunakan istilah sedulur (saudara) untuk membahasakan diri sendiri kepada orang lain. Siapapun dan dalam kondisi yang bagaimanapun ketika sudah menjadi bagian dalam komunitas Samin, maka ia dianggap sebagai saudara. Ajaran tersebut tercermin dalam prinsip sinten mawon kulo aku sedulur (siapa saja saya anggap sebagai saudara). (Sugeng Winarno, 2003). Berawal dari prinsip itu maka muncul gaya hidup yang bersifat permisif (terbuka) dan egaliter (persamaan).

Adanya rasa persaudaraan ini mendorong kebiasaan gotong-royong dan saling membantu (lung-tinulung) antar sesamanya. Apabila diantara orang Samin ada yang mempunyai gawé (hajat), yang menurut istilah mereka disebut adang akéh, semua kerabatnya datang dari segala pelosok dengan membawa bahan-bahan mentah yang akan dimasak dan dimakan bersama. (Titi Mumfangati, dkk, 2004) Seperti yang diajarkan oleh Samin Surosentiko, bahwa dalam hidup di masyarakat harus tertanam rasa gilir-gumanti (Tempo, 23 Mei 1987. No. 12 tahun XVII). Yakni bila kali ini dibantu orang lain, maka ketika ada orang lain yang membutuhkan bantuan, tanpa diharapkan oleh pihak yang bersangkutan, ia berkewajiban untuk membantu.

Kadar kebersamaan yang ditanamkan Samin Surosentiko memang sangat tinggi. Dapat dikatakan tidak ada kepemilikan pribadi dalam komunitas Samin. Hal itu tercermin dalam motto dhuwékmu ya dhuwékku, dhuwékku ya dhuwékmu, yén dibutuhké sedulur ya diikhlasaké(milikmu juga milikku, milikku juga milikmu, apabila diperlukan oleh saudaranya maka akan diikhlaskan). (Titi Mumfangati, dkk, 2004). Bila seseorang hendak pergi ke kota dan berbelanja di pasar, padahal ia tak punya apa-apa, tanpa ragu ia bisa pergi ke rumah tetangganya yang dekat dan berkata; “Sedulur, aku mélu nganggo klambimu!” (“Saudara, aku ikut memakai bajumu”), atau bahkan “Aku melu nganggo dluwang itunganmu!” (“Aku ikut memakai uangmu”). (Tempo, 23 Mei 1987. No. 12 tahun XVII).

Penanaman rasa persamaan dicerminkan Ki Samin dalam penggunaan bahasa Ngoko (bahasa Jawa kasar) dalam setiap percakapan, tanpa mau menggunakan Kromo Inggil (bahasa Jawa halus) yang memang lebih sering dipakai oleh orang yang berstatus lebih rendah kepada yang lebih tinggi. (Joko Susilo, 2003). Misalnya antara anak muda dengan orang tua, atau buruh dengan majikannya.